Jumat, 12 Juni 2009

Menegakkan Hak Perempuan, Hak Anak dan Kebebasan Berekspresi

Jakarta, Masyarakat Peduli Hak-hak Perempuan dan Kebebasan Berekspresi menilai kasus Prita Mulyasari (32) yang dipenjara akibat Surat Pembacanya tentang perlakuan yang kurang nyaman di Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera, Tangerang pada sebuah media yang berujung gugatan pencemaran nama baik oleh RS yang bersangkutan adalah sebuah tragedi kemanusiaan. Karena, Prita sebagai korban buruknya pelayanan RS, justru dipenjarakan ketika dirinya menyampaikan keluhannya.

Akibatnya, dua puluh dua hari sejak 13 Mei 2009 silam, ibu dua anak Balita Khairan Ananto Nugroho (3 tahun) dan Ranarya Puandida Nugroho (1 tahun 3 bulan) ini, menjadi tahanan titipan oleh Kejaksaan Negeri Tangerang karena disangka mencemarkan nama baik rumah sakit melalui internet. Ia dijerat dengan Pasal 27 ayat 3, Undang-undang Nomor 11, Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan hukuman maksimal enam tahun penjara atau denda maksimal Rp 1 miliar. Kini, Prita masih menyandang status tahanan kota sejak 3 Juni lalu. Padahal sebagai pasien dan konsumen, hak-hak Prita dijamin Undang-undang, baik Undang-undang Praktek Kedokteran maupun Undang-undang Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu, Prita tidak seharusnya ditahan hanya karena menuliskan surat keluhan. Malah seharusnya, Prita mendapatkan pembelaan atas tindakan yang tidak menyenangkan dari pihak Rumah Sakit.

Dari tindakan sewenang-wenang ini, hak anaknya untuk menyusui dari Ibu, sebagai bagian dari hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang telah tercabut, padahal hak ini pun telah diakomodir dalam sistem hukum Indonesia, baik dalam konstitusi maupun perundang-undangan, antara lain melalui ratifikasi dan pengundangan Konvensi Hak Anak dengan Keppres No. 36 Tahun 1990, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan sebagainya.

Lebih dari itu, ada indikasi kuat kasus ini adalah sebuah bentuk pengalihisuan dari substansi buruknya pelayanan kesehatan, menjadi isu pencemaran nama baik. Padahal, ada banyak sekali kejanggalan dalam prosedur hukum yang merugikan Prita. Kini semua seolah mau cuci tangan. Pihak Kepolisian maupun Kejaksaan saling lempar tanggung jawab.

Untuk itu kami Masyarakat Peduli Hak-hak Perempuan dan Kebebasan Berekspresi ingin mendesak; Pertama: dalam penyelesaian kasus Prita, aparat penegak hukum sungguh-sungguh menjalankan tanggung jawabnya untuk menegakkan hukum demi tercapainya keadilan, dan bukan terjebak hanya bekerja berdasarkan ”book-rule” atau teks semata. Kedua, Prita Mulyasari dibebaskan dari segala tuntutan, baik perdata maupun pidana. Ketiga, pemulihan nama baik Prita, dan terakhir, ganti rugi bagi Prita dan keluarga, fasilitas dan pemulihan trauma komperhensif dengan pemerintah menyediakan kounselor dan psikolog bagi Ibu dan bagi anak-anak yang sedang menyusui akibat penahanan yang terjadi terhadap ibunya.

Bersama dengan ini pula kami ingin menyerukan agar:
1. Mereview dan mengkritisi lahirnya UU yang prosesnya tidak partisipatif, terutama sesuai pasal 53, UU No 10, tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

2. Kepada kantor Kementerian terkait, termasuk Hukum dan HAM, Departemen Kesehatan dan juga Pemberdayaan Aparatur Negara, agar bergerak sinergis dalam pembuatan kebijakan yang pro masyarakat dan pro perempuan.

3. Mendesak kepada aparat negara dan aparat penegak hukum, termasuk kejaksaan, kepolisian, kehakiman agar melihat implementasi UU yang berperspektif gender dan juga prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang terkait.

4. Menegur kepada semua pimpinan Rumah Sakit atau lembaga kesehatan agar meningkatkan pelayanan yang optimal dan transparan pada masyarakat, terkait hak pasien dan hak konsumen pada informasi dan data yang jelas.

5. Mengajak masyarakat untuk memperjuangkan hak atas pelayanan publik dan juga hak akan kesehatan yang komprehensif, terutama untuk pelayanan kesehatan bagi pasien yang lengkap. Aspek ini bisa ditingkatkan dengan memastikan kebijakan yang berpihak pada rakyat dengan memastikan proses draft UU Kesehatan dan draft UU Pelayanan Publik yang sudah proses pembahasannya sedang dilakukan di DPR.

6. Mengkritisi ulang keputusan Mahkamah Konsitutsi terkait Judicial Review terhadap UU ITE, terutama dengan melihat kembali pada poin kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat (UUD 1945) dan Hak Konsumen (UU Konsumen). Kecenderungan misinterpretasi dari pasal-pasal dalam UU ini dapat mengekang kebebasan berekspresi dan merugikan siapapun, yang kemudian berlanjut pada pengekangan hak azasi manusia, hak perempuan dan anak.

Semoga persoalan kasus Ibu Prita menjadi preseden penting dalam menyoroti persoalan perkara hukum yang terjadi di Indonesia. Masyarakat wajib peduli pada persoalan dasar yaitu hak atas pelayanan kesehatan yang berkualitas, hak atas informasi dan hak atas upaya untuk menyampaikan keluhan dan penyelesaian sengketa. Dalam konteks pelayanan kesehatan tersebut, semua pihak harus bekerja sama bagi pelayanan kesehatan dan informasi yang benar (semua departemen terkait).

Tidak ada komentar: